Hal-hal yang menykitkan mata: bawang putih, bawang bombai, dan bawang merah..... berjalan terlalu jauh sesudah makan. anggur panas. udara dingin....banyak mengeluarkan darah..... debu. api. banyak menangis.....
Saturday, September 12, 2009
Generasi Terakhir Pemain Sasando
ROTE, KOMPAS.com — Jika harpa, piano, dan gitar plastis menjadi temuan paling bersejarah dan berarti dalam dunia musik, maka sasando dari Pulau Rote layak mendapat penghargaan lebih. Alat musik tradisional masyarakat Rote itu telah ada sejak puluhan tahun lalu dan menghasilkan suara kombinasi dari tiga alat musik: harpa, piano, dan gitar plastis.
Sasando bukan sekadar harpa, piano, atau gitar, tetapi tiga alat musik dalam satu rhythm, melodi, dan bass. Jadi, meskipun merupakan alat musik tradisional, universalitasnya sasando berlaku menyeluruh. Alat musik masyarakat Rote itu tergolong cordophone yang dimainkan dengan cara petik pada dawai yang terbuat dari kawat halus. Resonator sasando terbuat dari daun lontar yang bentuknya mirip wadah penampung air berlekuk-lekuk.
Susunan notasinya bukan beraturan seperti alat musik pada umumnya, melainkan memiliki notasi yang tidak beraturan dan tidak terlihat karena terbungkus resonator. Sasando dimainkan dengan dua tangan dari arah berlawanan, kiri ke kanan dan kanan ke kiri. Tangan kiri berfungsi memainkan melodi dan bas, sementara tangan kanan bertugas memainkan accord.
Sasando di tangan pemain ahlinya dapat menjadi harmoni yang unik. Sebab, hanya dari satu alat musik, sebuah orkestra dapat diperdengarkan. Mari mainkan lagu khas NTT, Bo Lele Bo, Sasando akan perdengarkan yang terbaik. Di satu kesempatan, coba petik sasando untuk mendendang "Heal The World" milik Michael Jackson, maka bagi alat musik itu bukan menjadi sesuatu yang sulit.
Sayang, sasando ibarat mahakarya maestro yang terpendam dan nyaris punah. Alat musik luar biasa itu terancam tinggal cerita manakala di tempat asalnya sendiri telah menjadi sesuatu yang asing. Sasando memang menyimpan kisah haru. Alat musik ciptaan dua pendeta asal Pulau Rote itu kini hanya dapat dipetik oleh delapan orang yang menjadi generasi terakhirnya.
Jacko HA Bullan boleh jadi merupakan salah satu generasi terakhir pewaris sasando Rote. Anak pertama dari dua bersaudara itu tergugah untuk sadar dan bertahan memperpanjang umur sasando agar dapat terus mengalun di telinga generasi mendatang.
"Orang yang bisa memainkan sasando saat ini tinggal delapan orang, termasuk saya," kata pria yang akrab disapa Jack itu. Dari jumlah itu, tiga orang di antaranya telah berusia di atas 30 tahun. Di NTT sendiri saat ini sudah tak ada satu pun yang bisa memainkan sasando.
"Orang terakhir yang bisa memainkan sasando di kampungnya sudah meninggal pada tahun 1997," kata Jack.
Penyelamat sasando
Jack tidak akan pernah menyangka, pengabdiannya menjadi penyelamat sasando berbuah manis. Pria kelahiran Kupang 29 Juli 1969 itu saat kecil dilarang menekuni sasando oleh orangtuanya yang khawatir anak pertamanya sulit memperoleh penghidupan yang layak.
"Berhenti main musik, pergilah ke kebun jadi petani. Begitu perintah bapak saya, tapi saya menolak," katanya.
Awalnya, ia pun berpikir tak mungkin bisa hidup dari sasando, tetapi toh pada kenyataannya dia hidup dari alat musik itu. Kini, dalam satu pekan ia manggung paling sedikit tiga kali dan rutin menjadi pengisi acara di sebuah rumah makan ternama di Kota Bandung. Jadwal itu belum termasuk kegiatannya menjadi guru musik sasando di rumahnya.
"Untuk lebih mensosialisasikan sasando, saya pindah ke Jakarta," kata Jack yang kini tinggal di bilangan Jakarta Timur itu.
Tidak hanya memainkan dan mengajar, Jack memperluas profesi sebagai pembuat sasando. "Harganya Rp 5 juta sampai Rp 15 juta," katanya.
Ketika pamor sasando kian menjulang, order manggung Jack semakin padat. Sejumlah negara pun pernah ia sambangi untuk pentas, mulai dari Malaysia, Jepang, hingga Spanyol.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment